Kamis, 28 April 2011

Dia yang tak pernah ada...

Praang...

“Berhentilah. Kumohon...” bisikku dari balik pintu kamarku.

Ini adalah kedua kalinya lelaki itu datang. Entah apa lagi yang diinginkannya sekarang. Setiap kedatangannya selalu membuat rumah menjadi kacau. Dia pertama kali muncul ke rumah ini saat umurku masih 8 tahun. Ketika dia mengetuk pintu rumah, akulah yang membuka pintu untuknya dengan senyuman. Tapi, lelaki itu dengan kasar mendorongku dan seenaknya masuk ke dalam rumah. Ketika dia melihat ibuku, dijambaknya rambut ibuku sambil mengancam macam-macam. Aku takut. Aku takut pada orang itu. Siapa dia?

Aku beranjak dari sudut kamar ketika suasana telah sunyi. Tak ada lagi teriakan dan bantingan barang. Aku mengetuk pintu kamarku yang dikunci ibu dari luar.

“Ibu... bukain pintunya bu... buka bu... Riri takut...” ucapku sambil terisak.

Beberapa menit kemudian, gagang pintu itu ditarik oleh ibu. Aku segera menghambur ke arah ibuku.

“Siapa dia bu? Siapa orang itu? Bu, kenapa ibu malah mengangis? Siapa dia?” tanyaku.

“Dia... dia adalah ayahmu nak.” Jawab ibu sambil menangis. Air matanya mengalir semakin deras. Membasahi lebam di pipinya.

Aku hanya terdiam. Ibu pasti berbohong. Orang itu tidak mungkin ayahku. Bukankah ayah sudah meninggal? Gundukan tanah di seberang danau itulah kuburannya. Orang itu hanya penjahat yang mencuri uang simpanan ibuku. Dia bukan ayahku, batinku memberontak. Hanya dua jam orang itu di rumah. Tapi semua perabotan pecah. Muka ibu dipenuhi lebam dan air mata.

Dan kini, lelaki itu datang lagi. Apa yang diinginkannya sekarang? Aku kembali berusaha membuka pintu kamarku. Tapi usahaku sia-sia. Ibu telah menguncinya dari luar. Ibu pasti tak mau aku melihatnya dipukuli oleh lelaki biadab itu. Aku hanya bisa bersandar di pintu. Air mataku mengalir setiap mendengar erangan kesakitan ibuku. Aku mengepalkan tangan dengan geram. Tak akan pernah aku lupakan wajah lelaki biadab itu. Sampai kapanpun tak akan pernah aku mengakuinya sebagai ayah.

Aku hanya bisa terdiam. Menunggu. Hingga akhirnya kegaduhan itu berhenti. Setengah jan kemudian, ibu membukakan pintu untukku. Mukanya dipenuhi lebam yang sama seperti 9 tahun yang lalu. Tapi kini, ibulah yang menghambur ke pelukanku. Ibuku, ibuku yang tegar kini menangis. Ibuku yang membesarkan aku dengan penuh senyuman itu menangis gara-gara orang itu.

“Apa lagi yang diinginkannya bu?”

“Dia minta 50 juta nak. Dia mau menyewa pengacara untuk membelanya. Dia telah membunuh istri keduanya nak, karena istrinya itu selingkuh. Dia membunuh orang nak.” jawab ibuku sambil terisak.

Ibuku yang kuat kini terlihat rapuh. Dia seperti gadis kecil yang kehilangan bonekanya. Aku hanya terdiam. Aku tak sanggup menenangkan hatinya karena hatiku sendiri juga menangis. Sepanjang malam itu, kami berdua hanya terduduk di depan pintu kamar sambil berpelukan.


Lima tahun kemudian.

Langkah kakiku terasa ringan. Titel S1 sebentar lagi akan tersemat di belakang namaku. Semua keperluan untuk wisuda telah fix. Aku tinggal pulang dan memberi tahu ibu.

“Non, kasihani saya non. Saya belum makan dari kemarin.” Seorang pengemis tua menahan langkahku.

Aku merasa iba padanya. Kurogoh kantongku dan kuberi dia lima ribu rupiah. Bapak tua itu memakai baju yang sangat lusuh. Seperti tak pernah ganti selama bertahun-tahun. Wajahnya berbinar ketika menerima uang itu dari tanganku. Tak henti dia mengucapkan beribu-ribu kata terima kasih. Tapi, aku seperti mengenal wajah itu. Meskipun banyak bekas luka dan penderitaan di wajah itu, tapi muka ini tak pernah aku lupa.

“A... ayah...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar